Masa Demokarsi Liberal - Keadaan Politik

Setelah sebelumnya dibahas tentang pahlawan Indonesia, yang telah berjasa untuk mengharumkan nama bangsa melalui jasa maupun karya yang dihasilkan.

Pembahasan dalam informasibelajar.com ini akan memberikan pemaparan tentang masa demokrasi liberal. Masa ini pernah dilewati oleh Bangsa Indonesia, setelah Indonesia menganut sistem pemerintahan parlementer, pada tahun 1950.


Pada saat menjadi negara kesatuan, Undang – Undang Dasar RIS diganti dengan Undang – Undang Dasar Sementara 1945 atau UUDS.

Peristiwa politik yang terjadi pada masa demokrasi liberal cukup beragam, antara lain ketidakstabilan politik, pemilu I, politik luar negeri bebas aktif, gangguan keamanan dalam negeri pada masa 1950 – 1959, kemacetan konstituante, dekrit presiden 5 Juli 1959.

Ketidakstabilan politik ditunjukkan dengan munculnya banyak partai, antara lain PNI, Masyumi, NU, PKI, PSI, Murba, PSII, Partindo, Parkindo, dan Partai Katolik.

Banyaknya partai atau multi partai tersebut menjadi sesuatu yang tidak menguntungkan bagi bangsa, karena munculnya persaingan dengan bentuk pertentangan golongan. Kondisi tersebut menyebabkan ketidakstabilan politik di Indonesia, hingga terjadinya pergantian kabinet dalam waktu singkat. (baca: Indonesia di bawah 7 kabinet masa demokrasi liberal)

Pergantian kabinet juga menimbulkan masalah baru yaitu ketidakpuasan pemerintahan daerah. Sehingga menyebabkan gelaja provinsialisme atau sifat kedaerahan. Dari gejala tersebut, muncul separatisme, yang terwujud dalam berbagai macam pemberontakan.

Ketidakstabilan politik juga disebabkan adanya pertentangan antara politisi dan TNI Angkatan Darat. Kondisi tersebut tampak dalam peristiwa 17 Oktober 1952.

Ketidakstabilan politik dalam negeri sangat menggangu kehidupan bidang ekonomi, pendidikan, sosial, dan budaya. Sehingga, masa pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan kondisi politik yang stabil dan mantap, sangat diperlukan.

Pemilu I di Indonesia dilakukan pada masa kabinet Burhanudin Harahap tahun 1955 dan dilaksanakan dua kali, yaitu
Pada tanggal 29 September 1955 untuk memilih anggota DPR atau parlemen.
Pada tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih anggota Dewan Konstituante atau Dewan Pembentuk UUD.

Partai yang mengikuti pemilu I yaitu PNI, Masyumi, NU, dan PKI. Kebinet yang terbentuk dalam pemilu I yaitu Kabinet Ali Sastroamijoyo II, pada bulan Maret 1956. Namun, tidak lama kemudian, kabinet Ali ini jatuh, diganti dengan kabinet Juanda atau Kabinet Karya.

Sayangan, situasi politik yang memanas pada masa itu menyebabkan kabinet juanda tidak mampu meredamkan dan konstituante gagal merumuskan UUD baru. Ketidakberhasilan konstituante ini menyebabkan Presiden Soekarno berpidato pada tanggl 22 April 1959.

Isi dalam pidato tersebut untuk kembali pada UUD 1945. Anjuran ini diwujudkan dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Politik luar negeri bebas aktif. Sistem politik ini dianut Indonesia karena menolak untuk mengaitkan dirinya dengan negara atau kekuatan mana pun. Bebas berarti mengambil jalan sendiri dalam menghadapi masalah internasional.

Aktif berarti Indonesia berusaha sekuat – kuatnya untuk memelihara perdamaian dan meredakan pertentangan. Pada masa demokrasi liberal ini juga, pemerintah Indonesia berhasil melaksanakan Konferensi Asia Afrika di Bandung pada bulan April 1955.

Berbagai gangguan dalam negeri pada masa 1950 – 1959. Gangguan keamanan ini terwujud dalam berbagai macam pemberontakan atau aksi, antara lain APRA, Pemberontakan Andi Aziz, RMS, PRRI, dan Permesta.

Kemacetan konstituante. Ketidakberhasilan konstituante untuk menyusun UUD baru dan kehidupan politik yang tidak stabil menimbulkan frustasi bagi masyarakat Indonesia. Kemudian, pada tanggal 22 April 1959, ditengah – tengah frustasi nasional, Presiden Soekarno berpidato di depan sidang konstituante.

Soekarno menganjurkan untuk menetapkan UUD 1945 menjadi UUD RI, dalam rangka demokrasi terpimpin. Konstituante kemudian mengadakan sidang untuk membahas hal tersebut.

Pemungutan suara yang diadakan sebanyak dua kali pada tanggal 29 Mei 1959 dan 2 Juni 1959, masih mengalami kegagalan, karena Dewan Konstituante banyak yang tidak hadir.

Pada tanggal 3 Juni 1959, anggota dewan mengadakan reses atau istirahat, yang bukan hanya sementara waktu, namun selamanya. Dewan konstituante membubarkan diri.

Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Kehidupan politik yang semakin memburuk menyebabkan Soekarno dan TNI bertindak untuk mengatasi kondisi tersebut. Hal tersebut dilakukan dengan cara mengeluarkan Dekrit Presiden untuk kembali ke UUD 1945.

Alasan dikeluarkan Dekrit Presiden
1.        Anjuran untuk kembali ke UUD 1945 tidak memperoleh keputusan dari konstituante.
2.        Konstituante tidak mungkin lagi menyelesaikan tugasnya karena sebagian besar anggotanya telah menolak menghadiri sidang.
3.        Kemelut dalam konstituante membahayakan persatuan, mengancam keselamatan negara dan merintangi pembangunan nasional.

Isi dari Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yaitu
1.        Pembubaran konstituante
2.        Berlakunya UUD 1945
3.        Akan dibentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara atau MPRS dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara atau DPAS.

sumber:
Sukmayani, R., dkk. 2008. Ilmu Pengetahuan Sosial 3: untuk SMP/ MTs Kelas IX. Jakarta: Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional.